Sejarah Pengelolaan Zakat Nasional
zakatkita.org 16 September 2021 3450
Sejarah Pengelolaan Zakat Nasional
Sejak kedatangan Islam di
Nusantara pada awal abad ke 7 M, kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat pada
waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting shalat dan puasa.
Padahal walaupun tidak menjadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda
menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia khususnya di Aceh
sebagai pintu masuk.
Atas hal tersebut, Pemerintah
Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor
1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200
tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa
sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat.
Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan
mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada peng-hulu dan naib sebagai amil resmi waktu itu, melainkan
kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.
Pada saat yang sama masyarakat
Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang
dengan Belanda, sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana
pajak. Sebagai gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa
Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567). Pada
Masa kerajaan Aceh penghimpunan zakat masih sangat sederhana dan hanya dihimpun
pada waktu ramadhan saja yaitu zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti masjid). Pada
waktu itu sudah didirikan Balai Baitul
Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik dalam mengelola
zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perben-daharaan
negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja.
Ketika terdapat tradisi zakat
dikelola secara individual oleh umat Islam. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin
Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pe-ngumpulan zakat di kalangan
anggotanya.
Menjelang kemerdekaan, praktek
pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh umat Islam ketika Majlis Islam
‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943, membentuk Baitul Maal untuk
mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. Badan ini dikepalai
oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5
orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K.
Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.
Dalam waktu singkat, Baitul Maal
telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa
pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya
gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk
membubarkan diri. Praktis sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola
zakat yang eksis.
Perhatian Pemerintah terhadap
pengelolaan zakat ditunjukkan dengan mener-bitkan Peraturan Menteri Agama No. 4
Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No
5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten/kotamadya. Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden
Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana
Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan
zakat secara besar-besaran.
Namun demikian pernyataan tersebut
tidak ada tindaklanjut, yang tinggal hanya teranulirnya pelaksanaan Peraturan
Menteri Agama terkait dengan zakat dan baitul maal tersebut. Penganuliran Peraturan Menteri
Agama No. 5 Tahun 1968 semakin jelas dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama No
1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5
Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.7)
Dengan latar belakang tanggapan
atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968, 11 orang alim ulama di ibukota
yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka mengeluarkan rekomendasi perlunya
membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan
pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No.
Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam
tanggal 5 Desember 1968.
Pada tahun 1969 pemerintah
mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia
Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid.
Perkembangan selanjutnya di lingkungan pegawai kemente-rian/lembaga/BUMN dibentuk
pengelola zakat dibawah koordinasi badan kerohanian Islam setempat.
Keberadaan pengelola zakat
semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang
Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga
diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991
tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.
Baru pada tahun 1999, pemerintah
melahirkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam
Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. BAZ terdiri dari
BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.
Sebagai implementasi UU Nomor 38
Tahun 1999 dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini
disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan penghimpunan dan
pendayagunaan zakat. Langkah awal adalah mengupayakan memudahkan pelayanan,
BAZNAS menerbitkan nomor pokok wajib zakat (NPWZ) dan bukti setor zakat (BSZ)
dan bekerjasama dengan perbankan dengan membuka rekening penerimaan dengan
nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Dengan dibantu
oleh Kementerian Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri
untuk membayar zakat ke BAZNAS.
Tingkat kesadaran masyarakat untuk
berzakat melalui amil zakat terus ditingkat-kan melalui kegiatan sosialisasi
dan publikasi di media massa nasional. Sejak tahun 2002, total dana zakat yang
berhasil dihimpun BAZNAS dan LAZ mengalami peningkatan pada tiap tahunnya.
Selain itu, pendayagunaan zakat juga semakin bertambah bahkan menjangkau sampai
ke pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada lima
program yaitu kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.
Pada tanggal 27 Oktober 2011,
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui
Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25
November 2011. UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1)
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan
(2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan dimaksud, UU mengatur bahwa
kelembagaan pengelola zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai
koordinator seluruh pengelola zakat, baik BAZNAS Provinsi, BAZNAS
Kabupaten/Kota maupun LAZ.
Mandat BAZNAS sebagai koordinator
zakat nasional menjadi momentum era Kebangkitan Zakat di Indonesia. Dengan
berharap rahmat dan ridha Allah SWT, semoga kebangkitan zakat mampu mewujudkan
stabilitas negara, membangun ekonomi kerakyatan, dan mengatasi kesenjangan
sosial.
Bagikan ke Teman