photo

Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat

Institusionalisasi zakat oleh Negara Republik Indonesia antara lain mengemuka dari pidato Presiden Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26 Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut ia mengemukakan bahwa dirinya sebagai warga negara akan mengambil bagian dalam proses nasional pengumpulan zakat dan menyerahkan laporan tahunan terhadap pengumpul dan pendistribusinya. Pasca pidato, lalu Presiden menginstruksikan kepada tiga pejabat tinggi negara untuk menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan untuk pengumpulan zakat secara nasional. Arskal Salim menyebutkan bahwa langkah tersebut sebetulnya aneh karena sejatinya telah ada Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang zakat. Sebelum lahirnya PMA No. 4 tahun 1968 tentang zakat dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, pada abad ke-19 di Banten zakat fitrah sebagian besar dibayarkan masyarakat kepada guru agama, atau pengajar Al Qur`an di desa. Di Jawa Timur, zakat maal dibayarkan dan dikelola kyai dan ulama lainnya. Sementara itu zakat fitrah dibayarkan kepada pejabat urusan keagamaan di tingkat desa seperti khatib dan petugas masjid lainnya.
Pada tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda (Nederland Indies) mengeluarkan regulasi untuk menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas keagamaan seperti naib dan penghulu sebagai pengelola zakat. Lalu pada tahun 1905 pemerintah tersebut mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara khusus melarang petugas pribumi (priyayi dan setingkatnya) untuk mengintervensi pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah Belanda itu adalah suatu upaya untuk membuat perbedaan yang nyata antara urusan negara dan urusan masyarakat muslim dalam masalah keagamaan.  
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II. Lembaga MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah Jepang pada akhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah Kementerian Agama. Pada 8 Desember 1951, kementerian ini mengeluarkan edaran bahwa kementerian ini tidak berkehendak untuk mencampuri urusan pengumpulan dan pendistribusian zakat
Misinya hanyalah mendorong orang untuk membayar zakat dan mengawasi supaya distribusi zakat terselenggara sebagaimana mestinya. .
Sementara di Indonesia masalah pengelolaan zakat sampai sekarang belum tuntas. Padahal Indonesia telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat. Sebagian pihak menduga, justru UU inilah yang menghambat perkembangan zakat. Alih-alih terkoordinasi, setiap lembaga baik Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Badan Amil Zakat (Baz) provinsi, kabupaten dan kota serta Lembaga Amil Zakat (LAZ), seluruhnya memainkan peran dan fungsi serupa. Usulan bertahun-tahun tentang pembagian peran fungsi dan tugas tak tergubris sama sekali.
Belum tuntas permasalahan yang ditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999, kini telah lahir rancangan amandemen UU No. 38 tahun 1999, di mana dalam draft rancangan pemerintah disebutkan bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah sepenuhnya dikelola oleh negara (sentralisasi) melalui Badan Amil Zakat yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi hanya sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Amil Zakat milik pemerintah.
Adanya rencana sentralisasi pengelolaan zakat ini akhirnya memunculkan pertanyaan, sejauh manakah Negara Indonesia berhak melakukan intervensi dalam urusan keagamaan masyarakat seperti zakat ini? Guna menjawab pertanyaan ini akan ditelusuri jati diri Negara Indonesia dalam perspektif negara kesejahteraan dan perbandingan dengan praktek-praktek pengelolaan zakat di negara tetangga.

B.    Pengelolaan Zakat Dalam Tradisi Islam
Zakat adalah instrumen ilahiah yang diwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWT berfirman dalam Surat At-taubah ayat 103 ”Ambillah zakat dari harta mereka dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan yang berhak menerima zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang-orang dalam perjalanan, dan para pejuang di jalan Allah (Ibnu Sabil).
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian zakat terhadap delapan golongan tersebut. Imam Al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa jika yang membagikan zakat itu kepala negara atau wakilnya, gugurlah bagian amilin dan bagian itu hendaklah diserahkan kepada tujuh golongan lainnya jika mereka itu ada semua. Jika golongan tersebut tidak lengkap, zakat diberikan kepada golongan-golongan yang ada saja. Tidak boleh meninggalkan salah satu golongan yang ada. Jika ada golongan yang tertinggal, bagiannya wajib diganti.
Memang, apabila kepala pemerintahan menghimpun semua zakat dari penduduk suatu negeri dan golongan yang delapan lengkap ada, setiap golongan berhak menuntut hak masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib bagi kepala negara membagi sama rata di antara mereka, sebagaimana tidak wajib zakat itu sampai kepada mereka semua. Ia bahkan dapat memberikan kepada sebagian golongan lebih banyak dari yang lain. Boleh juga memberi kepada yang satu, tetapi tidak kepada yang lainnya jika menurut pertimbangannya hal itu sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Siapa yang bertugas membagikan zakat? Biasanya Rasulullah SAW mengirimkan petugas-petugasnya untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para mustahik. Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab juga melakukan hal yang sama, tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi. Tatkala datang masa pemerintahan Utsman ibn Affan, awalnya ia masih menempuh cara tersebut. Akan tetapi, waktu dilihatnya banyak harta yang tersembunyi, sedangkan untuk mengumpulkannya itu sulit dan untuk menyelidikinya, menyusahkan pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkan kepada para pemilik harta itu sendiri.
Para fuqaha telah sepakat bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang tersembunyi. Seandainya para pemilik sendiri yang membagi-bagikan zakat itu (zakat harta mereka yang tersembunyi) apakah itu lebih utama? Ataukah lebih baik mereka serahkan kepada kepala negara atau imam (petugas) yang akan membagi-bagikannya? Menurut Imam Al-Syafi’i, lebih baik diserahkan kepada imam jika imam itu ternyata adil. Menurut Imam Hanbali, lebih utama jika dibagi-bagikan sendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara, tidak ada halangannya. Adapun mengenai harta yang jelas, menurut Malik dan  Imam Hanafi, imam dari kaum muslimin dan para pembesarlah (pemerintah) yang berhak menagih dan memungut zakat. Pendapat golongan Syafi’i serta pengikut-pengikut Hanbali tentang harta-harta yang jelas ini sama dengan pendapat mereka terhadap harta-harta yang tersembunyi.
Maka, jelaslah bahwa zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia dimaafkan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tetapi hal ini tidak mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat tersebut dengan paksa beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas perbuatannya. Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka mengeluarkannya.
Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan bahwa zakat adalah salah satu landasan utama dalam terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan penyakit. Pemikiran mutakhir terkait peran zakat dalam negara modern dikemukakan oleh Aidit Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalam negara Islam modern ada empat sumber pendapatan negara antara lain adalah : (1) dana dari baitul maal; (2) pendapatan dari sumber daya alam masyarakat; (3) pajak; dan (4) pinjaman.  Dana dari baitul maal berasal dari sumber kekayaan khusus (special wealth) yaitu zakat, dan sumber kekayaan umum yaitu fa’i, ushr, pajak, ghanimah, dan lain-lain sumber yang tidak dimiliki oleh individu dan diserahkan kepada baitul maal.  

 

 


Bagikan ke Teman





Rekomendasi Artikel