Peran Negara Dalam Pengelolaan Zakat
zakatkita.org 29 September 2021 1356
Peran Negara Dalam
Pengelolaan Zakat
Institusionalisasi
zakat oleh Negara Republik Indonesia antara lain mengemuka dari pidato Presiden
Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj 26 Oktober 1968. Pada kesempatan tersebut
ia mengemukakan bahwa dirinya sebagai warga negara akan mengambil bagian dalam
proses nasional pengumpulan zakat dan menyerahkan laporan tahunan terhadap
pengumpul dan pendistribusinya. Pasca pidato, lalu Presiden menginstruksikan
kepada tiga pejabat tinggi negara untuk menyiapkan langkah-langkah yang
diperlukan untuk pengumpulan zakat secara nasional. Arskal Salim menyebutkan
bahwa langkah tersebut sebetulnya aneh karena sejatinya telah ada Peraturan
Menteri Agama (PMA) No. 4 tahun 1968 tentang zakat. Sebelum lahirnya PMA No. 4
tahun 1968 tentang zakat dan UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
pada abad ke-19 di Banten zakat fitrah sebagian besar dibayarkan masyarakat
kepada guru agama, atau pengajar Al Qur`an di desa. Di Jawa Timur, zakat maal
dibayarkan dan dikelola kyai dan ulama lainnya. Sementara itu zakat fitrah
dibayarkan kepada pejabat urusan keagamaan di tingkat desa seperti khatib dan
petugas masjid lainnya.
Pada tahun 1893 Pemerintah Hindia Belanda (Nederland Indies) mengeluarkan
regulasi untuk menghindari penyalahgunaan zakat dengan menunjuk petugas
keagamaan seperti naib dan penghulu sebagai pengelola zakat. Lalu pada tahun
1905 pemerintah tersebut mengeluarkan regulasi lain (Bijblaad 6200) yang secara
khusus melarang petugas pribumi (priyayi dan setingkatnya) untuk mengintervensi
pengelolaan zakat. Kebijakan pemerintah Belanda itu adalah suatu upaya untuk
membuat perbedaan yang nyata antara urusan negara dan urusan masyarakat muslim
dalam masalah keagamaan.
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah penjajahan menghidupkan kembali
institusi Majelis Islam A`la Indonesia (MIAI), suatu federasi partai politik
dan organisasi massa Islam yang telah hidup sebelum Perang Dunia II. Lembaga
MIAI kemudian mengambil inisiatif untuk membangun baitul maal di Jawa pada
tahun 1943. Namun upaya ini akhirnya gagal karena MIAI dibubarkan pemerintah
Jepang pada akhir tahun 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan dibentuklah
Kementerian Agama. Pada 8 Desember 1951, kementerian ini mengeluarkan edaran
bahwa kementerian ini tidak berkehendak untuk mencampuri urusan pengumpulan dan
pendistribusian zakat.Misinya hanyalah mendorong orang untuk membayar zakat dan mengawasi
supaya distribusi zakat terselenggara sebagaimana mestinya. .
Sementara di Indonesia masalah pengelolaan zakat sampai sekarang belum tuntas.
Padahal Indonesia telah memiliki UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat.
Sebagian pihak menduga, justru UU inilah yang menghambat perkembangan zakat.
Alih-alih terkoordinasi, setiap lembaga baik Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas), Badan Amil Zakat (Baz) provinsi, kabupaten dan kota serta Lembaga
Amil Zakat (LAZ), seluruhnya memainkan peran dan fungsi serupa. Usulan
bertahun-tahun tentang pembagian peran fungsi dan tugas tak tergubris sama
sekali.
Belum tuntas permasalahan yang ditimbulkan oleh UU No. 38 tahun 1999, kini
telah lahir rancangan amandemen UU No. 38 tahun 1999, di mana dalam draft
rancangan pemerintah disebutkan bahwa pengelolaan zakat, infak dan sedekah
sepenuhnya dikelola oleh negara (sentralisasi) melalui Badan Amil Zakat yang
dibentuk pemerintah di semua tingkatan pemerintahan. Lembaga Amil Zakat milik
masyarakat yang telah ada nantinya akan berfungsi hanya sebagai unit pengumpul
zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan Amil Zakat milik
pemerintah.
Adanya rencana sentralisasi pengelolaan zakat ini akhirnya memunculkan
pertanyaan, sejauh manakah Negara Indonesia berhak melakukan intervensi dalam
urusan keagamaan masyarakat seperti zakat ini? Guna menjawab pertanyaan ini
akan ditelusuri jati diri Negara Indonesia dalam perspektif negara
kesejahteraan dan perbandingan dengan praktek-praktek pengelolaan zakat di
negara tetangga.
B.
Pengelolaan Zakat Dalam Tradisi Islam
Zakat adalah instrumen ilahiah yang diwajibkan kepada kaum muslim. Allah SWT
berfirman dalam Surat At-taubah ayat 103 ”Ambillah zakat dari harta mereka
dengan guna membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka.
Sesungguhnya do’amu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 ada delapan golongan yang berhak menerima
zakat yaitu fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang,
orang-orang dalam perjalanan, dan para pejuang di jalan Allah (Ibnu Sabil).
Para fuqaha berbeda pendapat dalam pembagian zakat terhadap delapan golongan
tersebut. Imam Al-Syafi’i dan sahabat-sahabatnya mengatakan bahwa jika yang
membagikan zakat itu kepala negara atau wakilnya, gugurlah bagian amilin dan
bagian itu hendaklah diserahkan kepada tujuh golongan lainnya jika mereka itu
ada semua. Jika golongan tersebut tidak lengkap, zakat diberikan kepada
golongan-golongan yang ada saja. Tidak boleh meninggalkan salah satu golongan
yang ada. Jika ada golongan yang tertinggal, bagiannya wajib diganti.
Memang, apabila kepala pemerintahan menghimpun semua zakat dari penduduk suatu
negeri dan golongan yang delapan lengkap ada, setiap golongan berhak menuntut
hak masing-masing sebagaimana telah ditetapkan Allah, tetapi tidaklah wajib
bagi kepala negara membagi sama rata di antara mereka, sebagaimana tidak wajib
zakat itu sampai kepada mereka semua. Ia bahkan dapat memberikan kepada
sebagian golongan lebih banyak dari yang lain. Boleh juga memberi kepada yang
satu, tetapi tidak kepada yang lainnya jika menurut pertimbangannya hal itu
sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Siapa yang bertugas membagikan zakat? Biasanya Rasulullah SAW mengirimkan
petugas-petugasnya untuk mengumpulkan zakat dan membagi-bagikannya kepada para
mustahik. Khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab juga melakukan hal yang sama,
tidak ada bedanya antara harta-harta yang jelas maupun yang tersembunyi.
Tatkala datang masa pemerintahan Utsman ibn Affan, awalnya ia masih menempuh
cara tersebut. Akan tetapi, waktu dilihatnya banyak harta yang tersembunyi,
sedangkan untuk mengumpulkannya itu sulit dan untuk menyelidikinya, menyusahkan
pemilik-pemilik harta, maka pembayaran zakat itu diserahkan kepada para pemilik
harta itu sendiri.
Para fuqaha telah sepakat bahwa yang bertindak membagikan zakat itu adalah
pemilik-pemilik itu sendiri, yakni jika zakat adalah dari hasil harta yang
tersembunyi. Seandainya para pemilik sendiri yang membagi-bagikan zakat itu
(zakat harta mereka yang tersembunyi) apakah itu lebih utama? Ataukah lebih
baik mereka serahkan kepada kepala negara atau imam (petugas) yang akan
membagi-bagikannya? Menurut Imam Al-Syafi’i, lebih baik diserahkan kepada imam
jika imam itu ternyata adil. Menurut Imam Hanbali, lebih utama jika
dibagi-bagikan sendiri, tetapi jika diserahkan kepada negara, tidak ada
halangannya. Adapun mengenai harta yang jelas, menurut Malik dan Imam
Hanafi, imam dari kaum muslimin dan para pembesarlah (pemerintah) yang berhak
menagih dan memungut zakat. Pendapat golongan Syafi’i serta pengikut-pengikut
Hanbali tentang harta-harta yang jelas ini sama dengan pendapat mereka terhadap
harta-harta yang tersembunyi.
Maka, jelaslah bahwa zakat merupakan salah satu kewajiban yang telah disepakati
oleh para ulama dan telah diketahui oleh semua umat, sehingga ia termasuk salah
satu hal yang mendasar dalam agama, yang mana jika ada salah seorang dari kaum
muslimin yang mengingkari kewajibannya, maka dia telah keluar dari Islam dan
dibunuh dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru mengenal Islam, maka dia
dimaafkan disebabkan karena kejahilannya akan hukum.
Adapun mereka yang tidak mengeluarkannya dengan tetap meyakini akan
kewajibannya, maka dia berdosa karena sikapnya tersebut, tetapi hal ini tidak
mengeluarkannya dari Islam dan seorang hakim (penguasa) boleh mengambil zakat
tersebut dengan paksa beserta setengah hartanya sebagai hukuman atas
perbuatannya. Jika suatu kaum menolak untuk mengeluarkannya padahal mereka
tetap meyakini kewajibannya dan mereka memiliki kekuatan untuk melarang orang
memungutnya dari mereka, maka mereka harus diperangi hingga mereka
mengeluarkannya.
Ismail Luthfi Japakiya menyebutkan bahwa zakat adalah salah satu landasan utama
dalam terciptanya kedamaian dan keamanan, utamanya keamanan dari kemiskinan dan
penyakit. Pemikiran mutakhir terkait peran zakat dalam negara modern
dikemukakan oleh Aidit Ghazali. Ia mengemukakan bahwa dalam negara Islam modern
ada empat sumber pendapatan negara antara lain adalah : (1) dana dari baitul
maal; (2) pendapatan dari sumber daya alam masyarakat; (3) pajak; dan (4)
pinjaman. Dana dari baitul maal berasal dari sumber kekayaan khusus
(special wealth) yaitu zakat, dan sumber kekayaan umum yaitu fa’i, ushr, pajak,
ghanimah, dan lain-lain sumber yang tidak dimiliki oleh individu dan diserahkan
kepada baitul maal.
Bagikan ke Teman