Membersihkan Harta dari yang Haram
zakatkita.org 10 December 2021 7296
Membersihkan Harta dari yang Haram
Sedekah dengan Harta Haram
Mengenai sedekah dengan harta
haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
Harta yang haram secara zatnya.
Contoh: khomr, babi, benda najis. Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya
dan wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.
Harta yang haram karena berkaitan
dengan hak orang lain. Contoh: HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam
ini tidak diterima dan harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik
sebenarnya.
Harta yang haram karena
pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta dari hasil dagangan barang haram.
Sedekah dari harta jenis ketiga ini juga tidak diterima dan wajib membersihkan
harta haram semacam itu. Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut
sedekah? Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika
dinamakan sedekah, tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak
pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224).
Ghulul yang dimaksud di sini
adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain seperti harta curian. Sedekah
tersebut juga tidak diterima karena alasan dalil lainnya yang telah disebutkan,
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang
halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya
lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta
betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim
no. 1014).
Adapun bersedekah dengan harta
yang berkaitan dengan hak orang lain
(barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam, Jika
bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah diterima, bahkan ia
berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik sebenarnya pun tidak mendapatkan
pahala karena tidak ada niatan dari dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
Jika bersedekah dengan harta haram
tersebut atas nama pemilik sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada
pemiliknya atau pun ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan
ulama di antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Kaedah dalam Harta Haram Karena
Usaha (Pekerjaan)
Kaedah dalam memanfaatkan harta
semacam ini -semisal harta riba- disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin,
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka
ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang
mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no.
2)
Contoh dari kaedah di atas:
Boleh menerima hadiah dari orang
yang bermuamalah dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Boleh transaksi jual beli dengan
orang yang bermuamalan dengan riba. (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Jika ada yang meninggal dunia dan
penghasilannya dari riba, maka hartanya halal pada ahli warisnya. (Liqo’ Al Bab
Al Maftuh, kaset no. 10)
Contoh-contoh di atas dibolehkan
karena harta haram dari usaha tersebut diperoleh dengan cara yang halal yaitu
melalui hadiah, jual beli dan pembagian waris.
Di Manakah Menyalurkan Harta
Haram?
Dari pendapat terkuat dari
pendapat yang ada, harta haram harus dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja
ketika harta tersebut tidak diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya.
Namun di manakah tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah
ini:
Pendapat pertama, disalurkan untuk
kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat
tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan sebagai
sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat, pemberian pada
fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah,
Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama
Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan pada
maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian pendapat
ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta tersebut
disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut berasal dari
harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk
tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat
terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan
kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti
diberikan pada fakir miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan
menunjukkan pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan
pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an
(kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu
shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan
shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet,
harta haram tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari
penjelasan Syaikh Kholid Mihna,
Dalam rangka hati-hati, harta
haram disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir
miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan
pribadi si pemilik harta haram. Wallahu a’lam.
Bagikan ke Teman